19/11/14

0

Jumat Berduka

Posted on 19 November 2014

Jumat Berduka


Kalender penghitung hari menunjukkan hari ini adalah tepat 10 hari sejak terakhir kalinya saya menulis di blog saya ini. Sepuluh hari yang menurut saya berjalan sangat lama. Sepuluh hari yang menguras tenaga dan pikiran. Sepuluh hari dengan kesibukan yang luar biasa mengurus banyak hal. Dan hari ini, saat sang fajar mulai menenggelamkan diri, bersama itulah saya kembali seperti sedia kala, menjalani hari-hari yang saya idam-idamkan. Malam ini saya kembali bisa merangkai kata mempertalikan jari-jari dengan tuts laptop. Malam ini saya ingin menuangkan banyak cerita yang sudah lama berontak membuat setiap sudut otak terasa sesak. Malam ini saya akan mengabarkan kabar-kabar yang hampir tertelan oleh kejamnya waktu.

Bersama dengan mulainya cerita ini, air mata saya mulai menetes secara tiba-tiba, seakan-akan ini merupakan refleks fisiologis tubuh saya, refleks yang Allah anugerahkan kepada saya. Air mata yang menetes perlahan dari ujung mata ini mengisyaratkan rasa, rasa rindu akan sosok yang menginsprasi diri saya. Tapi kini, saya hanya bisa mendoakan sosok inpirasi tersebut, karena kini beliau telah tersenyum bahagia tengah menanti indahnya hari akhir bersama malaikat-malaikat Allah.

Jumat pagi menjadi hari yang sangat membuat saya terpukul. Telepon genggam berdering tepat pukul 9 pagi. Tanpa firasat apapun, dengan perlahan nama Ibu muncul sebagai pertanda pengirim pesan. Masih tanpa sangkaan apa-apa, dengan perlahan sms tersebut saya buka, hanya terlintas fikiran Ibu yang mungkin menanyakan kabar seperti biasa yang setiap hari beliau lakukan. Tapi sms kali ini beda, sepintas beda, sms yang biasanya diawali dengan kata Assalamualaikum, hari ini beda. Kata pertama yang terbaca dari sms tersebut menunjukkan frasa yang mewakili perasaan duka yang mendalam, Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun.

Siapa? Siapa yang telah kembali menemuiNya? Rasa penasaran menyelimuti pikiran,dengan perlahan kata demi kata kucerna dalam otak. Begitu sampai pada satu kata "Masduki", tunggu. Saya seperti tidak asing dengan nama itu, saya mulai berpikir berapa Masduki yang selama ini saya kenal? Apakah beliau? Beliau ustadz sekaligus kakek yang amat saya kagumi? Hati ini masih belum bisa menerima pikiran otak yang hanya sebatas dugaan-dugaan diri ini. Saya coba yakinkan diri, saya mulai membalas sms Ibu, menanyakan kepastian berita yang saya terima.

Beberapa saat kemudian telepon genggam saya berdering kembali. Dengan rasa penasaran yang luar biasa saya berusaha secepat mungkin meraih telepon genggam itu, secepat mungkin membaca berita yang terkabar dari sms itu. Seketika itu air mata saya menetes sembari memandang sms yang hanya sebatas tulisan. Tetesan air mata mengalir menetes di atas telepon genggam yang tanpa jiwa dan rasa, yang hanya bisa menyampaikan pesan tapi tak bisa merasakan isi pesan itu. Dan pagi itu menjadi Jumat yang sangat berduka bagi saya.

Mbah Duki, begitulah saya sering memanggil beliau. Kakek sekaligus ustadz bagi cucu-cunya ini telah kembali diambil oleh Sang Pencipta. Tanpa ada kabar angin sebelumnya, tanpa ada firasat apa-apa sebelumnya. Rasa rindu yang mendalam terhadap beliau masih sangat saya rasakan saat ini, rindu ingin melihat sosok beliau meski untuk yang terakhir kalinya. Tapi apa daya, semua sirna karena jarak yang membuat semua terasa jauh.

Lebarang tahun ini secara tak sadar menjadi lebaran perpisahan antara saya dan Beliau. Saat lebaran itulah menjadi saat terakhir saya bisa menatap wajah teduh Beliau. Saat di mana saya masih bisa mendengar suara beliau secara langsung, setiap kata yang terucap yang penuh dengan doa dan nasehat. Lebaran yang terakhir Beliau.

Masih teringat kuat di memori saya, lebaran kala itu, kami sempat mengobrol panjang lebar, panjang, sangat panjang lebih dari biasanya. Saat itu saya merasa sangat nyaman. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari Beliau kepada saya perihal Aceh dan keseharian saya. Obrolan yang panjang yang ditutup dengan doa dari Beliau. Setiap kali saya hendak berangkat kembali ke perantauan, kebali ke Aceh, selalu banyak nasihat-nasihat yang meneduhkan terucap. Dan kini, semua nasihat itu hanya bisa saya ulang dalam benak pikiran saya saja, tanpa bisa lagi mendengar logat bicara Beliau yang amat saya kenali.

Besok merupakan hari dimana tepat 1 minggu Beliau meninggalkan kami semua. Saya di sini, yang jauh dari rumah, yang tak bisa langsung ikut berdoa di atas makanya, yang tak bisa ikut mengantarkan Beliau ke tempat terakhirnya, hanya bisa kupanjatkan doa disetiap harinya, disetiap usai shalatku. Tak banyak yang kupinta dariMu Ya Rabb, cukup tempatkanlah Beliau pada derajat yang terbaik di sisiMu Ya Allah. Beliau yang mencintai kami, cucu-cucunya karenaMu. Semoga Kamis malam saat Engkau mengambilnya merupakan pertanda yang dapat mengobati rasa rindu kami pada Beliau. Semoga Kamis malam itu merupakan Kamis malam terbaik Beliau, Kamis malam yang mengantarkan Beliau menjadi Khusnul Khatimah. Amin.