01/11/15 - 01/12/15

0

(Mungkin) Aku Sahabatmu

Posted on 27 November 2015

Lagi, lagi dan lagi. Tak henti-hentinya isyarat itu bermunculan dalam kehidupanku. Satu notif kembali masuk dalam akun facebook ku. Masih sama, petuah sarat akan makna dari idola saya.

Kali ini tidak untuk orang lain, pesan mendalam ini mungkin lebih ditujukan untuk saya. Pertanyaan besar yang patut dibebankan pada diri kita masing-masing. Apakah kita layak disebut sebagai seorang sahabat? Ataukah justru kita adalah musuh berkedok sahabat?

Aku masih ingin menjadi sahabatmu. Aku berdoa agar selalu bisa menjadi sahabatmu. Aku ingin terus mengajakmu ke arah kebaikan. Aku ingin kebaikan ini juga ada pada dirimu. Tapi mungkin kini caraku berbeda. Setalah cara-caraku sebelumnya kau muntahkan bulat-bulat. Saat ini aku berjuang dengan cara yang Allah dan Rasulku ajarkan ketika seorang muslim ada pada posisi yang selemah-lemahnya. Ya, posisi selemah-lemahnya. Apa dayaku yang mungkin kau anggap sebagai tong kosong berbunyi nyaring. Tetapi setidaknya, dalam posisi yang paling lemah ini, aku masih menginginkan kebaikan itu juga ada pada dirimu. Ya, ada pada dirimu. Semoga kita bisa berjalan bersama kembali di jalan kebaikan yang dulu pernah kita perjuangkan bersama-sama. Amin.

Banda Aceh, 27 November 2015
Yang (Mungkin) Pernah Kau Anggap Sahabat

0

Untukmu Yang Pernah Menemaniku Dalam Jalan Kebaikan

Posted on 25 November 2015

Beberapa hari yang lalu saya mendapati sebuah notifikasi dari fanpage facebook yang saya ikuti. Saya dapati sebuah gambar yang mempunyai makna mendalam. Gambar tersebut berasal dari salah satu orang yang amat saya cintai. Pun makna dari gambar tersebut adalah unek-unek pikiran yang selama ini saya resahkan. Lebih tepatnya unek-unek yang susah untuk dituangkan dalam kata-kata. Apalagi untuk disampaikan ke orang lain.

Memang Allah sang maha penyimpan rahasia, yang maha merencanakan jalan hidup hambanya, dan maha mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya. Kehadiran gambar ini juga sudah digariskan olehNYA. Saya yakin tidak ada sesuatu yang sia-sia. Pasti ada hikmah dibalik kehadiran gambar ini. Setelah saya merenung untuk beberapa hari, saya merasa ini memang saat yang tepat untuk menyampaikan apa unek-unek yang ada dalam pikiran saya.

Teruntuk dirimu yang selama ini risih atas kehadiran saya, risih atas kecerewetan saya, maupun risih akan ajakan-ajakan saya. Saya pribadi memohon maaf. Tapi dibalik semua itu, tidak ada sedikitpun niat buruk saya untuk mengganggumu. Yakinlah semua itu saya lakukan hanya untuk kebaikanmu. Saya tak mengharap apapun atas apa yang saya lakukan, di sini saya hanya bisa mengajak dan menunjukkan mana jalan yang lebih baik. Karena saya tahu, sesungguhnya hanya Allah lah sang maha membalikkan hati untuk memberikan petunjuk.

Pun jika hal itu dibalas dengan cibiran, mungkin hal itu akan membuat saya merasa sedih di awal. Tapi semua itu telah mengingatkan saya akan perjuangan baginda Rasulullah akan perjuangannya dalam mengislamkan dunia. Bagaimana saya menjadi sedih jika cibiran yang Rasul terima lebih dan bahkan lebih dari apa yang saya terima? Sungguh apa yang saya terima saat ini tidak ada bandingannya sama sekali dengan segala yang Rasul terima selama mengajak orang-orang terdekatnya menuju ke arah kebaikan.

Cukup sampai di sini perjuangan nyata yang bisa saya lakukan. Bukan berarti saya menyerah, tapi saya akan terus berdoa untuk kebaikanmu. Cuma ini yang bisa saya usahakan. Sungguh Allah sang maha penentu jalan hidup hambanya. Sekuat apapun perjuangan yang saya lakukan untukmu, jika Allah berkata tidak, semua tetaplah tidak. Untuk itu tak henti-hentinya saya meminta kepada Allah agar segera menurunkan seberkah kesadaran untukmu. Saya akan selalu menantimu di jalan ini dan tak akan pernah bosan untuk mengharapmu datang.

Banda Aceh, 25 November 2015
Sesorang yang pernah engkau temani dalam jalan kebaikan.

0

Untuk Calon Istriku...

Posted on 19 November 2015



#‎DocStory‬
Menjadi Istri Seorang Dokter

Pernikahan adalah ibadah yang diganjar dengan separuh agama. Begitu besar ya, ganjaran itu. Maka dengan demikian, kita seharusnya tahu bahwa ia tidak akan mudah. Semua yang imbalannya besar, pasti membutuhkan usaha dan pengorbanan yang besar pula. Meski demikian, pernikahan bukan tidak mungkin dijalani dengan bahagia. Bukankah sejak terucap perjanjian dengan Tuhan, kita tidak lagi berjalan sendirian?

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Apalagi, dokter yang baru saja lulus. Dokter yang baru lulus saat ini wajib mengikuti program internsip selama satu tahun. Selama sebulan, pemerintah akan memberikan bantuan hidup dasar sejumlah 2,5 juta rupiah. Selain itu, dokter internsip ini juga tidak bisa praktik sendiri jika menginginkan uang tambahan. Apakah ringan pekerjaannya? Tidak. Selama seminggu, dia akan bekerja setiap hari (kecuali jika tugas poli maka minggu bisa libur).

Lalu apa yang harus dilakukan istrinya? Mengerti. Hanya itu. Mengerti bahwa pekerjaannya tidak mudah, bahwa nafkah yang dia berikan adalah anugerah. Seberapapun banyaknya, harus dicukupkan. Mungkin, 2,5 juta itu harus dibagi dengan mertua dan adik ipar. Mungkin, 2,5 juta itu harus dipotong pajak, keperluan biaya simposium/
workshop suami, dan biaya asuransi kesehatan. Namun, rasa cukup adalah syukur, dan Tuhan akan menambah rizki bagi siapapun yang bersyukur.

Mengertilah juga bahwa istri adalah rumah bagi suaminya, istri juga pakaian bagi suaminya. Maka jadilah rumah yang teduh, yang menjadi motivasinya dengan ikhlas melayani pasien karena di penghujung tugasnya ada istri yang menjadi tempatnya merebahkan segala lelah, yang mungkin ditahan dan disembunyikannya dari para pasien dan rekan kerja. Maka jadilah pakaiannya, ingatkan jika ada kesalahannya dengan cara yang baik, dan jangan mengumbar apa yang ada di antara istri dan suami kepada orang lain.

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Apalagi, dokter yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis (PPDS). Lamanya bertahun-tahun dan butuh kesabaran ekstra. Dan selama bertahun-tahun itu, PPDS tidak diperbolehkan bekerja. Maka tabungan adalah hal wajib yang harus disusun sejak lama. Perencanaan harus matang jauh sebelumnya. Di tahun-tahun pertama, dia akan begitu sibuk dengan senior-seniornya. Bukan karena lupa kepada keluarga, melainkan dia tidak punya pilihan lainnya. Maka sekali lagi mengertilah.

Mengertilah bahwa dia hanya ingin lekas lulus dan menyelesaikan studinya, sehingga bisa pulang kepada keluarganya. Mengertilah bahwa tekanan yang diterimanya besar dan banyak. Maka tidaklah perlu menambah tekanan baginya, tetaplah menjadi rumah yang teduh dan pakaian yang baik baginya. Dukungan dan do’a keluarga yang tanpa henti berarti lebih daripada nilai sempurna pada Board Examination manapun.

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Apalagi, dokter yang selalu dipandang setiap gerak-geriknya oleh masyarakat. Maka istri dan keluarga adalah cerminan dokter tersebut.

Lalu apa yang harus dilakukan istri? Sekali lagi adalah mengerti. Mengertilah, bahwa dengan menjadi istri seorang dokter, maka telah memilih untuk menjadi bagian dari sorotan masyarakat. Dengan demikian, jadilah istri yang baik. Jadikanlah anak-anaknya terdidik dengan baik. Bukankah sekolah pertama setiap anak adalah ibunya? Jadikanlah istri dan anak-anak sebagai nama baiknya sebagai suami dan seorang dokter.

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Jika seorang dokter merupakan profesi mulia, bukankah menjadi rumahnya menjadi lebih mulia?
[nyd]

0

Aku Rindu Sahabatku Yang Seperti Dulu

Posted on 16 November 2015






Aku rindu sahabatku yang seperti dulu.
Seperti yang pertama kukenal.
Yang mau menyapa dan mengajak ku bercanda.
Yang saling mengingatkan untuk kebaikan.
Yang melangkah di sebelahku untuk bersama-sama pergi ke meunasah.

Bukan seperti saat ini.
Yang hanya egois mementingkan kepentingannya sendiri.
Yang selalu duduk di depan laptop seharian penuh.
Yang susah diajak menuju arah kebaikan dengan beribu-ribu alasan.

Aku rindu sahabatku yang seperti dulu.
Meski kini semua telah berbeda.
Tapi aku akan selalu mendoakanmu.
Semoga engkau bisa menjadi seperti yang kukenal dulu.

0

Abah, Ibu, Maafkan Anakmu Ini

Posted on 15 November 2015



Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Diusiamu yang telah menginjak angka 50-an.
Harusnya engkau telah bisa menikmati hasil dari masa-masa perjuanganmu dulu.
Harusnya engkau telah bisa menimang cucu dan bahagia bermain bersamanya.

Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Semua ini bermula ketika aku memutuskan untuk menempuh pendidikan dokter.
Proses pendidikan dan pembentukan karakter diri yang sangat panjang dan berliku.
Padahal dulu aku sudah sempat menjadi seorang calon pendidik, profesi seperti apa yang engkau cita-citakan.
Tapi mungkin karena panggilan jiwa dan dorongan untuk ingin menjadi lebih baik.
Akhirnya kubulatkan niat dengan bismillah untuk menerjunkan hidupku pada dunia penolong.
Menjadi satu-satunya penolong diantara keluarga pendidik.

Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Proses pendidikan yang harus anakmu lalui ini harus ditempuh dengan pengorbanan.
Mungkin Abah Ibu juga sudah tahu dari cerita banyak orang bagaimana panjangnya perjalanan berjuang untuk menjadi seorang dokter.
Abah Ibu juga sudah terlalu sering mendengar keluh kesah atas segala pengorbanan yang harus anakmu lakukan.
Terlebih anakmu ini yang jauh di rantau, beribu-ribu kilometer jarak dari kampung halaman.
Bahkan Abah Ibu belum pernah memijakkan kaki di sini, belum pernah merasakan bagaimana lingkungan tempat anakmu tinggal.
Hanya telepon pintar yang setiap hari bisa mengabarkan tentang segala apa yang anakmu ini rasakan.

Kerisauan anakmu tak henti-hentinya datang menghampiri sejak anakmu memutuskan jalan hidup ini.
Pengorbanan materi yang harus Abah Ibu keluarkan semenjak anakmu resmi menjadi mahasiswa kedokteran selalu terbayang.
Harusnya Abah Ibu sudah bisa menunaikan kewajiban umat muslim untuk memenuhi panggilan Allah SWT ke tanah suci.
Tapi justru Abah Ibu masih harus bergelut dengan dunia dan seisinya untuk berjuang mati-matian membiayai anakmu ini.
Ingin rasanya anakmu ini tak lagi menyusahkanmu.
Berbagai cara anakmu ini lakukan untuk bisa sedikit meringankan bebanmu.
Meski apa yang anakmu ini lakukan mungkin hanya sepersejuta dari segala pengorbananmu.

Masih panjang perjalanan yang harus anakmu ini jalani.
Pendidikan pre-klinik yang saat ini anakmu jalani hanya satu dari rimba-rimba lainnya yang telah berbaris lurus di depan sana.
Skripsi, KKJ, Koas, UKMPPD, Internship, PTT, DLP, dan entah apalagi namanya.
Itu semua rimba-rimba yang harus anakmu taklukkan.

Puisi ini kubuat sebagai salah satu cara untuk mengungkapkan apa yang selama ini ada di pikiran anakmu.
Pun sebagai cara untuk mengungkapkan kerisauan yang akhir-akhir ini menyelimuti anakmu ini.
Mungkin Abah Ibu beberapa hari terakhir ini mendengar berbagai berita mengenai profesi yang akan anakmu ini jalani.
Bagaimana nanti setelah anakmu disumpah sebagai dokter, anakmu harus menjalani pendidikan sebenarnya di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan yang sebenarnya ditahun pertama memakai jas putih.
Dalam masa pendidikan itu, ketika anakmu sudah resmi menjadi dokter.
Mungkin anakmu akan masih tetap menyusahkanmu.
Hidup sebagai penolong untuk mengabdi di tengah-tengah masyarakat dengan bantuan hidup seadanya.
Mungkin akan memaksa Abah Ibu untuk tetap memberikan bantuan materi pada anakmu ini.
Entah karena Abah Ibu tak tega melihat beratnya perjuangan anakmu, pun anakmu sendiri yang tak tahu harus ke mana meminta bantuan.

Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Aku yakin disetiap langkah perjalananku, akan selalu ada doa darimu yang mengiringiku.
Aku tak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaanmu untuk mengizinkan anakmu memilih jalan hidup ini.
Aku tak akan pernah menyia-nyiakan pengorbananmu untuk bisa mengantarkan anakmu berjuang hingga detik ini.
Masa depan anakmu masih menjadi misteri.
Hanya doa-doamulah yang mampu membukakan jalan yang akan anakmu tempuh.
Disetiap doamu, aku akan berusaha untuk menjadi penolong yang baik.
Apapun resiko yang menghantui profesi ini, aku yakin Allah SWT tak akan membiarkan kerja tulus ikhlas ini untuk menolong sesama makhluknya.
Aku yakin semua perjalanan hidup telah digariskan olehNya.
Dan aku sangat yakin itu semua adalah yang terbaik untuk anakmu.

Abah, Ibu...
Terima kasih.
Terima kasih atas segala yang telah engkau curahkan untuk anakmu ini.
Insya Allah perjuanganmu tidak hanya bermanfaat untuk anakmu di dunia ini, tapi juga untuk dunia akhir kelak.
Amin.

Banda Aceh, 15 November 2015