19/11/15

0

Untuk Calon Istriku...

Posted on 19 November 2015



#‎DocStory‬
Menjadi Istri Seorang Dokter

Pernikahan adalah ibadah yang diganjar dengan separuh agama. Begitu besar ya, ganjaran itu. Maka dengan demikian, kita seharusnya tahu bahwa ia tidak akan mudah. Semua yang imbalannya besar, pasti membutuhkan usaha dan pengorbanan yang besar pula. Meski demikian, pernikahan bukan tidak mungkin dijalani dengan bahagia. Bukankah sejak terucap perjanjian dengan Tuhan, kita tidak lagi berjalan sendirian?

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Apalagi, dokter yang baru saja lulus. Dokter yang baru lulus saat ini wajib mengikuti program internsip selama satu tahun. Selama sebulan, pemerintah akan memberikan bantuan hidup dasar sejumlah 2,5 juta rupiah. Selain itu, dokter internsip ini juga tidak bisa praktik sendiri jika menginginkan uang tambahan. Apakah ringan pekerjaannya? Tidak. Selama seminggu, dia akan bekerja setiap hari (kecuali jika tugas poli maka minggu bisa libur).

Lalu apa yang harus dilakukan istrinya? Mengerti. Hanya itu. Mengerti bahwa pekerjaannya tidak mudah, bahwa nafkah yang dia berikan adalah anugerah. Seberapapun banyaknya, harus dicukupkan. Mungkin, 2,5 juta itu harus dibagi dengan mertua dan adik ipar. Mungkin, 2,5 juta itu harus dipotong pajak, keperluan biaya simposium/
workshop suami, dan biaya asuransi kesehatan. Namun, rasa cukup adalah syukur, dan Tuhan akan menambah rizki bagi siapapun yang bersyukur.

Mengertilah juga bahwa istri adalah rumah bagi suaminya, istri juga pakaian bagi suaminya. Maka jadilah rumah yang teduh, yang menjadi motivasinya dengan ikhlas melayani pasien karena di penghujung tugasnya ada istri yang menjadi tempatnya merebahkan segala lelah, yang mungkin ditahan dan disembunyikannya dari para pasien dan rekan kerja. Maka jadilah pakaiannya, ingatkan jika ada kesalahannya dengan cara yang baik, dan jangan mengumbar apa yang ada di antara istri dan suami kepada orang lain.

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Apalagi, dokter yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis (PPDS). Lamanya bertahun-tahun dan butuh kesabaran ekstra. Dan selama bertahun-tahun itu, PPDS tidak diperbolehkan bekerja. Maka tabungan adalah hal wajib yang harus disusun sejak lama. Perencanaan harus matang jauh sebelumnya. Di tahun-tahun pertama, dia akan begitu sibuk dengan senior-seniornya. Bukan karena lupa kepada keluarga, melainkan dia tidak punya pilihan lainnya. Maka sekali lagi mengertilah.

Mengertilah bahwa dia hanya ingin lekas lulus dan menyelesaikan studinya, sehingga bisa pulang kepada keluarganya. Mengertilah bahwa tekanan yang diterimanya besar dan banyak. Maka tidaklah perlu menambah tekanan baginya, tetaplah menjadi rumah yang teduh dan pakaian yang baik baginya. Dukungan dan do’a keluarga yang tanpa henti berarti lebih daripada nilai sempurna pada Board Examination manapun.

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Apalagi, dokter yang selalu dipandang setiap gerak-geriknya oleh masyarakat. Maka istri dan keluarga adalah cerminan dokter tersebut.

Lalu apa yang harus dilakukan istri? Sekali lagi adalah mengerti. Mengertilah, bahwa dengan menjadi istri seorang dokter, maka telah memilih untuk menjadi bagian dari sorotan masyarakat. Dengan demikian, jadilah istri yang baik. Jadikanlah anak-anaknya terdidik dengan baik. Bukankah sekolah pertama setiap anak adalah ibunya? Jadikanlah istri dan anak-anak sebagai nama baiknya sebagai suami dan seorang dokter.

Menjadi istri siapapun tidaklah mudah. Begitu juga menjadi istri seorang dokter. Jika seorang dokter merupakan profesi mulia, bukankah menjadi rumahnya menjadi lebih mulia?
[nyd]