15/11/15

0

Abah, Ibu, Maafkan Anakmu Ini

Posted on 15 November 2015



Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Diusiamu yang telah menginjak angka 50-an.
Harusnya engkau telah bisa menikmati hasil dari masa-masa perjuanganmu dulu.
Harusnya engkau telah bisa menimang cucu dan bahagia bermain bersamanya.

Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Semua ini bermula ketika aku memutuskan untuk menempuh pendidikan dokter.
Proses pendidikan dan pembentukan karakter diri yang sangat panjang dan berliku.
Padahal dulu aku sudah sempat menjadi seorang calon pendidik, profesi seperti apa yang engkau cita-citakan.
Tapi mungkin karena panggilan jiwa dan dorongan untuk ingin menjadi lebih baik.
Akhirnya kubulatkan niat dengan bismillah untuk menerjunkan hidupku pada dunia penolong.
Menjadi satu-satunya penolong diantara keluarga pendidik.

Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Proses pendidikan yang harus anakmu lalui ini harus ditempuh dengan pengorbanan.
Mungkin Abah Ibu juga sudah tahu dari cerita banyak orang bagaimana panjangnya perjalanan berjuang untuk menjadi seorang dokter.
Abah Ibu juga sudah terlalu sering mendengar keluh kesah atas segala pengorbanan yang harus anakmu lakukan.
Terlebih anakmu ini yang jauh di rantau, beribu-ribu kilometer jarak dari kampung halaman.
Bahkan Abah Ibu belum pernah memijakkan kaki di sini, belum pernah merasakan bagaimana lingkungan tempat anakmu tinggal.
Hanya telepon pintar yang setiap hari bisa mengabarkan tentang segala apa yang anakmu ini rasakan.

Kerisauan anakmu tak henti-hentinya datang menghampiri sejak anakmu memutuskan jalan hidup ini.
Pengorbanan materi yang harus Abah Ibu keluarkan semenjak anakmu resmi menjadi mahasiswa kedokteran selalu terbayang.
Harusnya Abah Ibu sudah bisa menunaikan kewajiban umat muslim untuk memenuhi panggilan Allah SWT ke tanah suci.
Tapi justru Abah Ibu masih harus bergelut dengan dunia dan seisinya untuk berjuang mati-matian membiayai anakmu ini.
Ingin rasanya anakmu ini tak lagi menyusahkanmu.
Berbagai cara anakmu ini lakukan untuk bisa sedikit meringankan bebanmu.
Meski apa yang anakmu ini lakukan mungkin hanya sepersejuta dari segala pengorbananmu.

Masih panjang perjalanan yang harus anakmu ini jalani.
Pendidikan pre-klinik yang saat ini anakmu jalani hanya satu dari rimba-rimba lainnya yang telah berbaris lurus di depan sana.
Skripsi, KKJ, Koas, UKMPPD, Internship, PTT, DLP, dan entah apalagi namanya.
Itu semua rimba-rimba yang harus anakmu taklukkan.

Puisi ini kubuat sebagai salah satu cara untuk mengungkapkan apa yang selama ini ada di pikiran anakmu.
Pun sebagai cara untuk mengungkapkan kerisauan yang akhir-akhir ini menyelimuti anakmu ini.
Mungkin Abah Ibu beberapa hari terakhir ini mendengar berbagai berita mengenai profesi yang akan anakmu ini jalani.
Bagaimana nanti setelah anakmu disumpah sebagai dokter, anakmu harus menjalani pendidikan sebenarnya di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan yang sebenarnya ditahun pertama memakai jas putih.
Dalam masa pendidikan itu, ketika anakmu sudah resmi menjadi dokter.
Mungkin anakmu akan masih tetap menyusahkanmu.
Hidup sebagai penolong untuk mengabdi di tengah-tengah masyarakat dengan bantuan hidup seadanya.
Mungkin akan memaksa Abah Ibu untuk tetap memberikan bantuan materi pada anakmu ini.
Entah karena Abah Ibu tak tega melihat beratnya perjuangan anakmu, pun anakmu sendiri yang tak tahu harus ke mana meminta bantuan.

Abah, Ibu...
Maafkan anakmu ini.
Maafkan anakmu yang tak henti-hentinya merepotkanmu.

Aku yakin disetiap langkah perjalananku, akan selalu ada doa darimu yang mengiringiku.
Aku tak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaanmu untuk mengizinkan anakmu memilih jalan hidup ini.
Aku tak akan pernah menyia-nyiakan pengorbananmu untuk bisa mengantarkan anakmu berjuang hingga detik ini.
Masa depan anakmu masih menjadi misteri.
Hanya doa-doamulah yang mampu membukakan jalan yang akan anakmu tempuh.
Disetiap doamu, aku akan berusaha untuk menjadi penolong yang baik.
Apapun resiko yang menghantui profesi ini, aku yakin Allah SWT tak akan membiarkan kerja tulus ikhlas ini untuk menolong sesama makhluknya.
Aku yakin semua perjalanan hidup telah digariskan olehNya.
Dan aku sangat yakin itu semua adalah yang terbaik untuk anakmu.

Abah, Ibu...
Terima kasih.
Terima kasih atas segala yang telah engkau curahkan untuk anakmu ini.
Insya Allah perjuanganmu tidak hanya bermanfaat untuk anakmu di dunia ini, tapi juga untuk dunia akhir kelak.
Amin.

Banda Aceh, 15 November 2015